SHALAT SYARI’AT DENGAN SHALAT THORIQAT

Oleh: Syeik Abdul Qodir al-Jilany Sholat Syari’ah,

anda sudah tahu ayat: “Peliharalah sholat-sholat…” (Al-Baqoroh: 238) yang disana tentu ada rukun-rukun sholat secara lahiriyah dengan gerakan-gerakan jasmani, seperti berdiri, ruku’, sujud, duduk, suara dan lafadz yang diucapkan. Semua itu masuk dalam ayat, “Peliharalah….” Sedangkan Sholat Thoriqoh, adalah sholatnya qalbu, yaitu sholat yang diabadikan. Dalam ayat itu berlanjut : “Dan sholat yang di tengah..” atau disebut sebagai Sholat Wustho, yaitu sholatnya qalbu, karena qalbu itu diciptakan posisinya di tengah, antara kanan dan kiri, antara bawah dan atas, antara bahagia dan sengsara, sebagaimana sabda Nabi Saw, : “Qalbu berada diantara dua Jemari dari Jemari-jemari Ar-Rahman, dimana Allah membolak-balikkannya semauNya…” (Hr. Muslim, dan juga dikutip oleh Al-Ghazali dalam Al-Ihya’). Yang dimaksud dengan Dua Jemari adalah dua sifatNya, Al-Qahr (Yang Maha Memaksa) dan Al-Luthf (Yang Maha Lembut), sebab Allah Maha Suci dari Jemari-jemari. Maka menjadi jelas maksud ayat tersebut adalah Sholat Qalbu. Apabila Sholat Qalbu rusak, maka Sholatnya pun rusak termasuk sholat jasmaninya, sebagaimana hadits Nabi Saw, “Tidak ada sholat melainkan dengan hati yang hadir di hadapan Allah.” Orang yang sholat bermunajat kepada Tuhannya, dan tempat munajat itu qalbu (hati). Jika hatinya alpa, maka rusak pula sholatnya. Hati adalah pokoknya, yang lain hanyalah pengikutnya, sebagaimana dalam hadits Nabi Saw. “ Ingatlah! Sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging, apabila ia bagus maka bagus pula seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah, daging itu adalah qalbu…” (Hr. Bukhori). Sholat syariat itu ada waktunya, setiap hari dan malam, lima kali. Disunnahkan berjama’ah di masjid dan harus menghadap Ka’bah, mengikuti iman, tanpa ada sikap pamer dan popularitas. Sedangkan Sholat Thoriqoh itu adalah Dzikrullah sepanjang hidup. Masjidnya adalah qalbunya. Jama’ahnya adalah perkumpulan kekuatan-kekuatan batin, untuk sibuk terus menerus mengingat Nama-nama Allah dan mentauhidkan Allah dengan lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu dalam spirit qalbu (Fuad). Dan kibaltnya adalah Al-Hadrah al-Ahadiyah (Manunggal hamba-Allah dalam KeesaanNya) dan Keindahan ShomadiyahNya, itulah kiblat Hakikat. Qalbu dan Ruh sibuk dengan sholat Thariqat ini sepanjang zaman. Karena Qalbu tidak mati dan tidak tidur. Ia sibuk dalam tidur dan jaga dengan kehidupan qalbu, tanpa suara, tanpa berdiri dan tanpa duduk. Itulah yang disebut oleh Allah swt: “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan…” (Al-Fatihah, 5) Mengikuti Jejak Nabi Saw Dalam Tafsir Al-Baidhowi, Anwarut Tanzil wa Asdrorut Ta’wil, beliau mengatakan, “Dalam ayat tersebut ada isyarat bagi orang yang ma’rifat kepada Allah, dan transformasinya dari kondisi dimana ia tidak hadir jiwanya menjadi hadir di hadapan Allah Ta’ala. Maka ia berhak mendapatkan tugas ini, sebagaimana sabda Rasululllah saw: “Para Nabi dan para wali senantiasa sholat dalam kuburnya sebagaimana mereka sholat di rumah-rumah mereka.” Maksudnya mereka terus sibuk bersama Allah dan munajat bagi kehidupan qalbunya. Bila Sholat Syariat dan Sholat Thoriqoh telah berpadu, lahir dan batin, maka sempurnalah sholatnya, dan meraih pahala yang agung dalam taqarrub dengan alam ruhaninya. Dan dia juga meraih derajat jasmaniyah, lalu si hamba menjadi seorang ‘abid secara dzohir, dan ‘arif secara batin. Jika seseorang tidak berhasil sholat Thoriqoh dengan hati yang hidup, maka ia tergolong tidak sempurna, dan pahalanya tidak sampai pada derajat taqarrub kepada Allah Ta’ala.

DUA PULUH TATA KRAMA DZIKIR

( Diambil Dari Kitab Al Khulashotul Wafiyah, Fil Adabi Wa Kayfiyatidz Dzikri,

‘Indassadatil Qodiriyah Wannaqsabandiyah

Oleh ; Muhammad Utsman bin Nady Al Ishaqy )

Para ulama ahli ma’rifat ra. Telah bersepakat bahwasanya orang yang tidak melaksanakan tata krama dzikir yang berjumlah dua puluh maka sama sekali tidak akan terbuka hatinya (futuh).

Adapun tata krama dzikir tersebut lima dilakukan sebelum dzikir, dua belas ketika berdzikir serta tiga dilaksanakan setelah berdzikir.

LIMA TATA KRAMA SEBELUM DZIKIR ADALAH:

1. Harus bertaubat dari perkataan, perbuatan, atau kemauan yang tidak ada gunanya.

2. Bersuci dari hadast besar atau kecil dengan berwudlu atau mandi dengan sempurna.

3. Tenang, konsentrasi supaya berhasil dalam berdzikir.

4. Memohon pertolongan ketika melaksanakan dzikir kepada Himmahh (semangat, kemauan) guru.

5. Berkeyakinan bahwa sesungguhnya mendapatkan pertolongan dari guru tersebut pada kenyataannya adalah mendapatkan pertolongan dari Nabi Muhammad saw.

DUA BELAS TATA KRAMA KETIKA MELAKSANAKAN DZIKIR ADALAH:

1. Duduk diatas tempat duduk yang suci, seperti duduk ketika sholat.

2. Meletakan dua telapak tangan pada dua lutut, menghadap ke kiblat bila berdzikir sendirian, sedangkan ketika berjama’ah dengan orang banyak saling menghadap (Jawa: kupengan)

3. Tempat dan pakaian yang digunakan berdzikir harus berbau harum.

4. Memakai pakaian yang halal dan suci.

5. Kalau bisa, harus memilih tempat yang gelap.

6. Memejamkan kedua mata, agar supaya tertutup beberapa saluran panca indra yang tampak.

7. Membayangkan wajah sang guru.

8. Benar didalam dzikir, artinya tidak pamer dan tidak ujub (angkuh).

9. Ihlas, yakni bersihnya amal dari sikap “riya”, sesungguhnya dzikir disertasi keikhlasan dari orang yang berdzikir tersebut akan sampai kepada derajat atau tingkatan “shiddiqiyn”, dengan syarat tidak menyembunyikan apapun yang terlintas di dalam hati seorang murid, dipuji atau dicela semua diserahkan kepada guru, sebab dengan menyembunyikan rasa tidak menerimakan apa yang dikatakan guru menyebabkan timbulnya sikap pengingkaran dan tertutup dari futuh.

10. Tidak menentukan shighot kalimat dzikir dengan kalimatnya sendiri, akan tetapi harus memakai shighot kalimat yang diajarkan oleh guru.

11. Menghadirkan makna dzikir di dalam hati, sesuai tingkatan masing-masing dalam hal musyaahhadahh (penyaksian terhadap Allah), dengan syarat selalu memberitahukan kepada guru tiap naiknya tingkatan yang dirasakan, sehingga oleh guru diajarkan tentang tata krama sesuai tingkatan masing-masing.

12. Menyingkirkan segala sesuatu yang wujud dan nampak dari hati selain hanya kepada Allah yang ada di hati orang yang berdzikir dengan ucapan (لا ا له الا الله) “Laa ilaaHha il-lal-looHh”

( PENTING )

Adapun para ulama mensyaratkan harus menyingkirkan segala yang berwujud, selain AllaHh ta’aalaa dari hati tersebut adalah agar supaya bekas dan pengaruh kalimat (لا ا له الا الله) ”Laa ilaaHha il-lal-looHh” tetap di dalam hati, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.

Para ulama juga sepakat wajib seorang murid berdzikir dengan segenap kekuatan, kemantapan dan tetap berhati-hati.

SEDANGKAN TIGA TATA KRAMA YANG DILAKUKAN SETELAH SELESAI MELAKSANAKAN DZIKIR ADALAH:

1. Diam sejenak, tenang, tunduk merenung dalam hati, merasakan hadirnya dzikir yang membekas dalam hati.

2. Bernafas dengan mantap dan berulang-ulang, tiga kali nafas hingga tujuh kali nafas keluar masuk.

3. Tidak langsung minum begitu selesai dzikir.

KIAI ASRORI : MENYATUKAN UMMAT LEWAT THARIQAH

Beliau masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur. Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga ringan, berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu tampak lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh disibukkan oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari berbagai penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking padatnya, Jalan Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang Jakarta harus ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir kendaraan roda dua dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya puluhan rombongan bis bis pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan pribadi sudah memasuki wilayah Kota Pekalongan yang terkenal dengan industri batiknya menuju satu titik, yakni Lapangan Mataram. Ada apa gerangan ? Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima puluh ribu kaum muslimin dan muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai penjuru tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah, manaqib Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka “Haflah dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik penyejuk ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni KH. Ahmad Asrori Utsman Al Ishaqi. Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang langit Kota Pekalongan di pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua kilometer. Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat sibuk dengan urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema istighotsah dan tahlil. Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio yang sudah punya nama di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM, Radio Abirawa Top FM dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi hari yang cerah dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan menyebut asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang oleh kondisi zaman. “Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh para ulama, syuhada’ dan sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa dalam pengembangan agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias mengikuti acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan. Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu disulap oleh panitia menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan tertutup rapat oleh tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di dalamnya membentang panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan dekorasi yang cukup mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari memasangnya dan pihak panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi dari Ponpes Al Fithrah Semarang. Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta dzikir dapat mendengar dengan baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus sound system berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu truk tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan kekuatan masing masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound system, acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer. Mayoritas jama’ah yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa Tengah. “Kami sengaja hadir di majelis ini, karena pada tahun ini hanya diselenggarakan di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa beberapa bis untuk mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan tahun kemarin di Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami bawa” kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada juga diungkapkan Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal Salatiga. Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan berasal dari Jawa Timur, Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari kendaraan berplat nomor AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Timur Tengah. Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram seperti Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai Latihan Kerja (BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi menjadi tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai masyarakat dan menyejukkan hati, jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya menjadi tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada malam sebelumnya. Uswah khasanah Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya. Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu. Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya. Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar. Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah. Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu. Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer. Keturunan Rasulullah ke-38 Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang. Berikut si Baiat thariqah Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh tahun itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi). Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan. Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah. Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi. Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di Kota Pekalongan dan Batang. Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun kedalaman ilmunya. Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara. Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya. Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan lain lain. H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya. Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak dilupakan ummat Islam. Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan, sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”, ujarnya usai acara. [mu’is]

Syekh Abdul Qadir al-Jilany r.a.

“Ingatlah, sesungguh-nya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Terlepas dari pro dan kontra mengenai sosok Syaikh Abdul Qadir al-Jilani , yang jelas ketokohan beliau dalam bidang Thariqah dan Tasawuf sangat masyhur, khususnya di negara kita. Hal itu bisa dibuktikan dengan menyebarnya thariqah beliau di seantero nusantara dan negera-negara lain di belahan bumi ini. Di Indonesia saja, manaqib beliau sangat terkenal dan dibaca di mana-mana oleh semua lapisan masyarakat, baik kalangan pejabat sipil, militer maupun rakyat biasa. Itu semua dapat kita jumpai ketika berlangsung acara-acara majlis dzikir, haul maupun majlis-majlis yang lain. Salah satunya yang terbesar adalah haul yang di selenggarakan oleh Jama’ah Al Khidmah di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya, yang tidak kurang dihadiri oleh tiga ratus ribu orang. Semua itu pada hakekatnya adalah bukti yang menunjukkan kedudukan beliau yang amat tinggi di sisi Allah swt, sehingga Allah swt memuliakan dan mengharumkan nama beliau. Walaupun beliau sudah tidak ada semenjak 867 tahun yang lalu.

Ketokohan beliau sangat masyhur dikalangan ahli thariqah. Di luar kalangan ahli thariqahpun nama beliau sangat harum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang terkenal kritis terhadap para ahli tasawuf dalam beberapa fatwanya menyanjung dan memuji Syaikh Abdul Qadir al-Jilani . Beliau menyebutkan, bahwa karomah-karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Qadir dinukil secara mutawatir[1]. Beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sangat memuji Syaikh Abdul Qadir dengan pujian yang tidak pernah diungkap orang lain atau diungkapkan kepada orang lain, kecuali hanya sedikit. Beliau selalu menyertakan kata-kata qadda-sallahu sirrahu (mudah-mudahan Allah swt mensucikan ruhaninya) setiap kali menyebut nama Syaikh Abdul Qadir . Bahkan, beliau rahimahullah menulis sebuah artikel dalam fatwa-fatwanya yang mencakup terhadap penjelasan dan pengarahan terhadap sebagian kalimat dan makna yang terdapat dalam kitab Futuh al-Ghaib karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani .[2]

Nama beliau adalah Abu Sholih Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsana bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib y.

Beliau dilahirkan di Jailan. Yaitu negeri terpencil di belakang Thabrastan, yang di kenal dengan Kail atau Kailan. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat ketika menisbatkan nama beliau kepada tanah kelahirannya. Sebagian ada yang menisbatkan wilayah Jilan ini menjadi Jili. Sebagian menisbatkannya menjadi Jilani (dan ini yang kami pakai karena penisbatan Jilani lebih masyhur dan terkenal dikalangan rakyat Indonesia).

Sebagian yang lain lagi menisbatkannya ke daerah Kailan menjadi Kailani. Sebagian orang yang menisbatkan beliau kepada Jilani mempunyai alasan karena beliau dilahirkan disana. Akan tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa penisbatannya kepada Jilani adalah karena Allah telah memberikan kepada Syaikh Abdul Qadir kedudukan yang sangat tinggi disisi-Nya sejak beliau berada di dalam kandungan ibunya (Innallaha tajalla ‘alaihi wahuwa fi bathni ummihi).

Beliau pernah ditanya kapan engkau mulai menjadi waliyullah? Beliau menjawab: “Sejak kanak-kanak, karena aku mendengar suara dari langit: ‘Ya Waliyallah lakukanlah seperti ini dan tinggalkanlah perkara ini.’.” Bahkan termasuk karomah beliau adalah sewaktu bayi ketika bulan Ramadlan beliau tidak pernah menetek kepada ibunya. Hal itu menjadi pedoman bagi penduduk Bagdad untuk menentukan awal bulan Rama-dlan[3] dan juga hari raya. Suatu hari mereka bertanya kepada ibunda Syaikh Abdul Qadir , apakah beliau siang itu menetek atau tidak. Ketika beliau tidak menetek maka bulan Ramadlan telah masuk dan apabila di siang hari -pada bulan Ramadlan- beliau menetek pada ibunya maka itu bertanda bahwa hari raya telah tiba.[4]

Beliau dilahirkan pada tahun 471 Hijriyah sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Dzahabi dalam Siyar A’laam al-Nubala. Riwayat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 470 Hijriyah sebagaimana keterangan Imam al-Sya’roni dalam Ath Thabaqaat Al Kubro dan juga keterangan dari beliau sendiri tentang kelahirannya. Beliau berkata: “Saya tidak mengetahui secara pasti, tetapi saya datang ke bagdad pada tahun ketika al-Tamimi masih hidup dan usia saya pada saat itu delapan belas tahun.”[5]. Al-Tamimi adalah ayah Muhammad Izzatullah bin Abdul Wahhab bin Abdul Azis bin al-Harits bin Asad yang meninggal pada tahun 488 Hijriyah. Beliau wafat pada malam Sabtu ba’da maghrib tanggal delapan Rabiul Akhir tahun 561 Hijriyah dan jenazahnya dimakam-kan dimadrasahnya setelah disaksikan oleh manusia yang tak terhitung jumlahnya.[6]

Beliau adalah ulama yang sangat harum namanya, berahlak mulia, selalu berada di antara orang-orang kecil dan para hamba sahaya untuk mengayomi mereka. Beliau senantiasa bergaul dengan orang-orang miskin sembari membantu membersihkan pakaian mereka. Beliau sama sekali tidak pernah mendekati para pembesar atau para pembantu negara. Juga sama sekali tidak pernah mendekati rumah seorang menteri atau raja.

Oleh karena itu tidak heran jika para ulama banyak memberikan gelar padanya. Diantara gelar yang diberikan kepada Syaikh Abdul Qadir adalah gelar Imam yang diberikan oleh Imam al-Sam’aani , seraya berkata: “Beliau adalah Imam pengikut madzhab Hambali dan guru mereka pada masanya.”[7] Imam al-Dzahabi juga memberinya gelar sebagai Syaikhul Islam ketika menulis biografinya dalan kitabnya Siyar A’lam al-Nubala.[8] Disamping gelar-gelar diatas masih banyak gelar-gelar yang diberikan oleh para ulama baik dari kalangan Hanabilah maupun Syafi’iyah yang tidak akan dipaparkan dalam tulisan ini.

Pemikiran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani .

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya, al-Ghunyah li Tholib al-Thoriq al-Haq mendefinisikan tasawuf sebagai pembenaran (percaya) kepada yang Haq (Allah ) dan berperilaku baik terhadap sesama hamba Allah swt. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa aspek tasawuf bersandar pada dua hal:

1) Hubungan seorang hamba kepada Sang Kholiq dengan cara bersungguh-sungguh dalam me-ntaati segala perintah-Nya dan bersungguh-sungguh dalam usaha menjauhi larangan-Nya.

2) Hubungan seorang hamba dengan hamba yang lain dengan cara berperilaku yang baik dan berahlak yang terpuji. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bergaullah dengan manusia dengan perilaku yang terpuji.”[9]. Selain definisi di atas, beliau dalam kitabnya yang lain menjelaskan bahwa tasawuf adalah: bertakwa kepada Allah swt, mentaati-Nya, menerapkan syariat-Nya secara dhohir, menye-lamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mence-gah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefaqiran, menjaga kehor-matan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasehati orang kecil dan besar, meniggalkan permu-suhan, bersikap lembut, melaksa-nakan fadlilah, menghindari menyimpan harta benda, menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat dan tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia.”[10].

Definisi ini mencakup beberapa hal, yaitu: 1) Takwa kepada Allah swt, dengan cara menaatinya dengan menerapakan syariat-Nya dalam kehidupan sehari-hari. 2) Melatih, mendidik dan menyucikan jiwa untuk senantiasa berakhlak dengan sifat-sifat yang terpuji. 3) Menghargai orang lain dalam pergaulan sehari-hari dengan cara memberikan hak-haknya yang sesuai dan proporsional. Selain aspek-aspek di atas beliau juga menjelaskan bahwa tasawuf dibangun atas delapan dasar, yaitu: dermawan, ridha, sabar, isyarah, mengasingkan diri, tasawuf, bepergian, dan kefakiran.[11]

Kemudian Syaikh Abdul Qadir mendefinisikan Muta-shawif sebagai orang yang membebani dirinya untuk menjadi seorang sufi dan dia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk bisa menjadi seorang sufi. Dia berupaya dan menempuh jalan satu kaum dan mengambilnya sebagai jalan suluk (menuju ke haribaan Allah swt). Sedangkan Sufi sendiri menurut Syaikh Abdul Qadir adalah orang yang telah merealisasikan makna-makna tasawuf, sehingga dia berhak untuk disebut sebagai seorang sufi. Dalam Ghunyah-nya beliau berkata: “Sufi diambil dari kata al mushafaat, yaitu seorang hamba yang telah disucikan oleh Allah swt. Atau orang yang suci dari penyakit jiwa, bersih dari sifat-sifat tercela, menempuh jalan yang terpuji, mengikuti hakekat dan tidak tunduk pada seorang makhluk.”[12]. Lebih lanjut Syaikh Abdul Qadir mengatakan bahwa sufi adalah orang yang batin dan dhohirnya bersih mengikuti al-Qur’an al-Karim dan Sunah Rasul-Nya s.a.w..[13]

Corak Pemikiran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani .

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani telah menggambarkan secara lengkap tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu syariat -yang didasarkaan pada al-Qur’an al-Karim dan Sunah Rasul s.a.w. dengan penerapan praktis dan keharusan untuk berpegang kepada syariat. Oleh karenanya tasawuf yang dirumuskan oleh Syaikh Abdul Qadir jauh dari paham-paham yang mengatakan, bahwa setelah seseorang mencapai tingkat hakekat, maka sudah tidak dibutuhkan lagi syariat.

Lebih lanjut bahwa corak pemikiran tasawuf Syaikh Abdul Qadir al-Jilani lebih condong kepada tasawuf yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali . Karena tasawuf Imam al-Ghazali berprinsip untuk tidak mening-galkan aqidah dan syariat.[14] Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berguru kepada Imam al-Ghazali yang wafat pada tahun 505 H. Sementara Syaikh Abdul Qadir sampai di Baghdad pada tahun 488 H. Berarti Syaikh Abdul Qadir hidup bersama Imam al-Ghazali di Baghdad selama tujuh belas tahun. Maka sungguh mustahil jika beliau tidak pernah mendengar nama Imam al-Ghazali yang sangat masyhur itu, atau tidak pernah sama sekali berguru kepadanya. Karena itulah, setelah beliau melihat kedudukan Imam al-Ghazali di Baghdad, beliau ingin mengikuti jejaknya. Kemungkinan itu semakin kuat, bila kita melihat adanya keserupaan yang besar antara metode Imam al-Ghazali dengan metode Syeikh Abdul Qadir al-Jilani dalam penulisan buku mereka, yaitu Al Ihya’ dan Al Ghunyah.[15]

Karya-karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani .

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani termasuk tipe ulama yang selama masa hidupnya disibukkan dengan aspek pengajaran, pendidikan, perilaku dan ibadah, sehingga karya-karya beliau dalam bentuk tulisan tidak begitu banyak, karena sebagian besar waktunya tersita untuk kegiatan-kegiatan diatas. Karya-karya beliau dalam bentuk tulisan diantaranya adalah:

1. Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al- Adab al-Islamiyah yang terdiri dari dua juz dan terbagi menjadi lima bagian:

a) Dalam fiqh dan macam-macam ibadah, seperti sholat, zakat, puasa, haji, etika dan dzikir.

b) Dalam akidah, masalah keimanan, tauhid, kenabian, tempat kembali dan ahli bid’ah dari kelompok-kelompok sesat.

c) Beberapa majlis yang berkaitan dengan al-Qur’an, doa-doa dan fadlilah-fadlilah sebagian bulan dan hari.

d) Rincian beberapa hukum fiqh yang berkaitan dengan puasa, sholat dan doa.

e) Tentang tashawuf, adab dalam pergaulan, etika para murid, beberapa ahwal dan maqamat.

2. Futuh al-Ghaib, yaitu kitab yang berisi tentang nasehat-nasehat

3. yang berguna, pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat yang berbicara tentang banyak permasalahan, seperti penjelasan tentang keadaan dunia, keadaan jiwa dan syahwatnya dan ketundukan kepada perintah Allah swt.

4. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani, yaitu sebuah kitab yang mencakup wasiat, nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk di enam puluh dua majlis sejak tanggal 3-10-545 H sampai tanggal 6-7-546 H yang membahas tentang perma-salahan keimanan, keihlasan dan sebagainya.

Kiranya perjalanan hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bisa menjadi pegangan bagi kita dalam mengarungi kehidupan yang fana ini dengan cara mengkhidmahkan diri kita untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Sehingga semua yang kita kerjakan hanya semata-mata mengharap ridlo Ilahi…amin.

[1] Maksudnya, bahwa karomah-karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani t dinukil segolongan ulama dari segolongan ulama lain yang tidak mungkin untuk melakukan kebohongan.[2] Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah: 10/516-517, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi hal.63.[3] Lihat Thabaqaat al-Kubro, hal.181[4] Uraian ini disampaikan oleh al-Allamah al-Habib Zein bin Ibrohim bin Smith dari kota Madinah al-Munawwaroh ketika menyampaikan tausiyahnya dihadapan Jama’ah al-Khidmah dalam rangka Haflah Dzikir dan Maulidirrasul SAW serta Haul Akbar Syeikh Abdul Qadir al-Jilani ra. pada hari ahad, 19 Agustus 2007 di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.[5] Al-Syathnufi, hal.: 88

[6] Al-Dzahabi dalam Siyar A’laam Nubala’: 20/410

[7] Dzail Thabaqaat al-Hanabilah: 1/291

[8] Siyar A’laam Nubala’: 20/439

[9] H.R. Imam Ahmad, Imam Al Baihaqi, Imam At Tirmidzi dll.

[10] Futuh al-Ghaib, uraian ke lima puluh tujuh, hal.:166, Buku Putih Syeikh Abdul Qadir Al Jailani: 418

[11] Penjelasan lebih mendetail silahkan lihat kitab Futuh al-Ghaib, uraian ke tujuh puluh lima dan Buku Putih Syeikh Abdul Qadir Al Jailani: 418-420

[12] Al-Gunyah: 2/160

[13] Al-Fath al-Rabbani, majlis ke lima puluh sembilan, hal. 222

[14] Aswaja al-Nahdliyah: 29

[15] Buku Putih Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, hal. 424

Thariqat Ahmadiyah Badawiyah

Nama resminya ialah Ahmad ibn ‘Aly (al-Husainy al-Badawy). Di antara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin (bintang agama), al-Aqthab, Abu al-Fityah (bapa para kesateria), Syaikh al-‘Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama.

Keturunan serta Tarikh dan Tempat Kelahiran
Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir,Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam, melalui Saiyidina al-Husain.

Menurut as-Saiyid Muhammad Murtadla az-Zabidy (meninggal dunia pada tahun 1205 Hijrah), silsilah keturunan yang lengkap bagi asy-Syaikh Ahmad al-Badawy ialah Ahmad ibn ‘Aly ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ismail ibn ‘Umar ibn ‘Aly ibn ‘Uthaman ibn al-Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Asyhab ibn Yahya ibn ‘Îsa ibn ‘Aly ibn Muhammad ibn Hasan ibn Ja‘far ibn ‘Aly al-HÁdy ibn Muhammad al-Jawad ibn ‘Aly ar-Ridlo ibn Musa al-Kadzim ibn Ja‘far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Zain al-‘Àbidin ‘Aly ibn al-Husain ibn ‘Aly ibn Abi ThaAlib.

Ibu kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Fathaiimah bint Muhammad ibn Ahmad ibn ‘AbdullÁh ibn Musa ibn Syu‘aib juga adalah seorang keturunan RaslullÁh Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan nenek (yakni ibu kepada ibu) kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Asma’ bint ‘Uthaman pula, adalah anak saudara kepada seorang raja yang pernah memerintah negara Moroko.

Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dilahirkan pada tahun 596 Hijrah di Fez (yang dieja juga sebagai Fés, dan disebut Fas di dalam Bahasa Arab), yang menjadi ibu negara Moroko pada waktu itu. Dia telah meninggal dunia pada hari Selasa, 12 haribulan Rabiulawal tahun 675 Hijrah, ketika berumur 79 tahun, di kota Thantha, yang terletak di utara negara Mesir, dan berada lebih kurang 90 kilometer dari kota al-Qahirah. (Pada masa dahulu, THantha pernah dikenali sebagai Thananditha).

Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat luas kemasyhurannya dan telah diberikan penghormatan yang istimewa. Karena itu, kuburnya sentiasa dikunjungi para pelawat pada setiap hari. Mereka ini datang dari jauh dan dekat, dengan berbagai-bagai niat dan hajat. Dan Allah Ta‘ala selalu memakbulkan doa-doa mereka di situ, karena memuliakan waliNya ini.

Orang-orang Mesir telah mengkhususkan tiga upacara tahunan untuk memperingati asy-Syaikh Ahmad al-Badawy. Sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di Thantha ini dihadiri oleh ramai manusia, sehingga kadangkala jumlah mereka mencecah angka tiga juta orang. Dan yang turut menghadiri sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy, bukan saja mereka dari kalangan para pengamal ath-Thariqah al-Ahmadiyyah al-Badawiyyah, tetapi juga dari kalangan para pengamal tarekat-tarekat lain, dan termasuklah juga beberapa orang pembesar negara Mesir. Malah, presiden negara Mesir sendiri telah menghantar seorang menteri sebagai wakil peribadinya ke majlis-majlis maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy.
Kota Thantha adalah sebuah kota yang agak sederhana geografisnya. (Universiti al-Azhar juga mempunyai cabang di kota Thantha, di mana terdapat juga beberapa orang penuntut dari Malaysia.) Tetapi, ketika sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy sedang diadakan, jumlah penduduk kota Thantha akan menjadi berlipat ganda. Ia menjadi seakan-akan kota Makkah al-Mukarramah pada waktu musim haji. Ini adalah sebagai satu tanda yang asy-Syaikh Ahmad al-Badawy masih popular di kalangan rakyat jelata, walaupun sudah lebih dari tujuh ratus tahun dia meninggal dunia.

Silsilah Tarekat dan Peninggalannya
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat terkenal di negara Mesir. Dia juga adalah pengasas ath-Thariqah al-Ahmadiyyah, yang dikenali juga sebagai ath-Thariqah al-Badawiyyah. Dan ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pula, telah berpecah kepada beberapa cabang dan ranting lain, seperti ath-Thariqah al-Anbabiyyah ath-Thariqah al-Bandariyyah, ath-Thariqah al-BaiyÍmiyyah, ath-Thariqah al-Halabiyyah, a ath-Thariqah al-Hammidiyyah, ath-Thariqah al-Kannasiyyah, ath-Thariqah as-Salamiyyah, ath-Thariqah asy-Syinnawiyyah, ath-Thariqah as-Suthhiyyah, ath-Thariqah az-Zahidiyyah.

Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah menerima ijazah tarekat dari asy-Syaikh al-Birry, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Abi Nu‘aim al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-‘Abbas Ahmad ibn Abi al-Hasan ‘Aly ar-Rifa’y, yang telah menerima dari asy-Syaikh ManSÍr al-Batha’ihy ar-Rabbany, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly al-Qari’ al-Wasithy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Fadhl ibn Kamikh, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi ‘Aly Ghulam ibn Tarakan, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly ibn Barbary (yang disebut juga sebagai Ibn al-Baranbary), yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly al-‘Ajamy (yang dikenali juga sebagai asy-Syaikh Mahally al-‘Ajamy), yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Bakr Dulaf ibn Jahdar asy-Syibly, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Hasan Sary ibn al-Mughalis as-Saqathy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Ma‘ruf ibn Fairuz al-Karkhy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Sulaiman Dawud ibn Nasirr ath-Tha’y, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Muhammad Habi ibn ‘Îsa al-‘Ajamy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Sa‘id al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Bashry, yang telah menerima dari al-Imam al-Hasan ibn ‘Aly, yang telah menerima dari bapanya yakni al-Imam ‘Aly ibn AbÍ Thalib, yang telah menerima dari sepupunya yang juga adalah bapa mertuanya yakni junjungan kita Saiyidina Muhammad Raslullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam.

Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy tidak pernah mengarang sebarang kitab. Cuma yang ada ialah sebuah kitab yang telah ditulis oleh seorang muridnya, mengikut pengimlakan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy. Kitab ini tersimpan di dalam masjid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di kota Thantha.

Di antara amalan-amalan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang masih popular dan diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia ialah selawat an-Nur dan selawat al-Qabdlah (dikenali juga sebagai selawat ar-Ra’ysiyyah). Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga meninggalkan beberapa Hizb ringkas yang diamalkan oleh para pengikut ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pada waktu Subuh dan pada waktu Isyak.

Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diumpamakan oleh ahli-ahli sufi sebagai satu permata cemerlang dari perbendaharaan Ahlul-Bait. Seperti keadaan beberapa orang wali Allah lain yang telah diberikan tugas untuk mendidik, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga telah bertugas sebagai seorang guru dan pendakwah. Namun, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dipilih untuk mendidik kumpulan para petani di daerah pendalaman, sebagaimana ada wali-wali Allah lain yang telah dipilih untuk mendidik para saudagar dan para cerdik pandai di kota-kota besar.