Tarekat Syathariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau

Secara historis, Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-12 M, ada yang menyebutnya abad ke-14 M. Almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama hijriah.

Naiknya kerajaan Islam Pasai di Aceh dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau. Perkembangan Islam di Aceh, khususnya paham tasawuf melalui ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau sejak masa awal. Pengaruh al-Sinkili dalam pengembangan Islam ke Minangkabau diteruskan oleh Burhan al-Din. Syekh Burhan al-Din Ulakan memainkan peran sebagai pengembang Islam melalui tarekat Syathariyah di Minangkabau. Sehingga surau Ulakan cukup termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau.

Pengertian Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.

Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga system, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.

Adat Minangkabau
Adat sebagai identitas masyarakat Minangkabau telah menjadi rujukan bagi setiap tingkah laku masyarakatnya. Setiap aktivitas, prakarsa (inisiatif) dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan adat tersebut. Namun demikian, adat Minangkabau te1ah mengalami fase-fase perkembangan sendiri berkenaan dengan perjumpaannya dengan nilai-nilai luar. Pertama adalah fase animisme dan dinamisme. Fase ini berlangsung sebelum abad V M. Kedua adalah fase pengaruh Hindu-Budha, mulai abad VI Masehi sampai abad VII Masehi. Ketiga adalah fase Islam. Adapun raja Minangkabau pertama yang beragama Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa pada pertengahan abad ke-16 (1560 M). Pada masa ini, terutama di seputar pesisir, dominasi politik dan ekonomi dikuasai oleh kerajaan Aceh.

Ketika Islam menjadi anutan orang Minangkabau maka tidak sedikit adat Minangkabau yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme serta Hindu dan Budha, mendapatkan kritikan dan gugatan dari ajaran Islam. Setelah itu, melalui pergulatan yang terakhir justru Islamlah yang sampai sekarang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, termasuk memberi corak tehadap adat Minangkabau. Perpaduan antara adat dan Islam itu dibuktikan melalui sistim dan struktur adat Minangkabau yang dibuhul dengan pepatah “Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”

Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.

Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.

Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi – tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.

Adapaun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;

Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘a/am), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.

Tarekat Naqsyabandiyah
Menurut BJO Schrieke dan Martin Van Bruinessen, Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Christine Dobbin menyebutkan tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Lima Puluh kota. Azyumardi Azra menulis bahwa tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.

Kepopuleran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau diperkuat oleh ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah lalu mereka kemudian mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), Syekh Muhammad Sai’d Bonjol.

Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.

Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai’at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai’at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.

Dzikit ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.

KAMBING KURUS YANG DAPAT MENGELUARKAN AIR SUSU DENGAN SENTUHAN TANGAN ROSULULLLOH SAW

Suatu hari keluarga dari kaum kafir bernama Aktsam dan istrinya bernama Atikah bin kholid kedatangan Tamu dari rombongan Rosululloh Saw dan para sahabatnya yang hendak menuju Madinah . Perjalanan yang cukup Jauh dari Mekkah menuju Madinah membuat Rombongan Rosululloh saw terlihat sangat lelah dan kehabisan bekal makanan dan air. Melihat kondisi Nabi saat itu membuat Abu bakar Sahabat Nabi merasa prihatin karena sepanjang perjalanan hanya terdapat padang pasir yang membentang. Tidak terdapat rumah penduduk untuk membeli air dan bekal makanan. Rosululloh saw menenangkan Para sahabat agar jangan putus asa “Alloh tidak akan meninggalkan kita” Kata Rosululloh.

Hingga akhirnya Rombongan Rosululloh menemukan sebuah kemah yang dulu digunakan pengembala kambing milik Keluarga Aktsam , disamping itu pula keluarga Aktsam berdagang Kurma , daging dan susu yang memang diperuntukan untuk para Musafir yang transit dari Mekkah ke Madinah. Ketika rombongan Nabi tiba di kemah yang kebetulan saat itu Aktsam sedang tidak ada di tempat dan hanya di temui oleh istrinya Atikah bin kholid yang merasa prihatin dengan kondisi rombongan Nabi dan para sahabatnya yang sedang kehausan dan kelaparan. “wahai pemilik kemah aku punya 800 Dirham untuk membeli makanan dan air yang kau miliki ‘ Kata Abu bakar.” Seandainya aku masih punya makanan dan susu yang cukup kalian tidak perlu membayar untuk itu semua karena aku kasihan melihat kondisi kalian yang haus dan kelaparan” kata Atikah bin Kholid. Lalu Abu bakar memberikan laporan kepada Nabi bahwa Pemilik kemah sudah tidak memeliki kelebihan bekal makanan dan susu , semuanya habis terjual . Ketika Rombongan nabi hendak melanjutkan perjalanan ke Madinah , Nabi melihat Seekor kambing yang sangat kurus dan sakit sakitan di sebelah Kemah . “apakah kambing itu milikmu? tanya Nabi kepada Atikah bin Kholid. “Benar kambing itu milik kami tapi kambing itu sakit sakitan ” Jawab Atikah . “izinkan aku Memeras susu dari kambing mu itu” Pinta Rosululloh. “mana mungkin kambing yang kurus dan sakit sakitan dapat mengeluarkan susu” Kata Atikah bin Kholid. Lalu Rosululloh saw menghampiri kambing tersebut dan berjongkok sambil memegang Susu kambing tersebut” Bissmillahirrohman nirrohim Allohuakbar” Seketika itu pula mengalir dengan deras Air susu dari kambing yang kurus tersebut” Ambillah bejana untuk menampung air susu ini ” Kata Rosululloh. Dengan Penuh keheranan Atikah masuk ke Kemah untuk mengambil bejana sambil bertanya dalam hati” Siapa orang ini ?? apakah seorang penyihir?? nanti aku akan ceritakan pada suamiku kalau dia pulang. Begitu bejana terisi penuh lalu rosululloh menyuruh Abu bakar dan sahabat lainnya untuk meminum terlebih dahulu.” Bagaimana mungkin aku minum air susu ini ,kau Sendiri terlihat sangat kehausan” Kata Abu bakar. “kau minum saja dulu aku kan sedang memeras Susu ” Kata Rosululloh, Akhirnya Abu bakar dan para sahabat lain Meminum air susu dari perasan tangan lembut dan mulia Rosululloh tersebut , baru setelah itu Rosululloh saw meminumnya, dan menyisahkan Satu bejana penuh air susu untuk keluarga Atikah bin kholid. “Berapa aku harus membayar harga susu itu ? “kata Abu bakar. “Kau tidak perlu membayarnya, Kambingku sekarang terlihat sehat dan segar dan akulah yang mengucapkan terima kasih dan siapa sebenarnya orang yang memeras kambingku itu ” Tanya Atikah . “Saya Muhammad bin Abdulloh dari bani Hasyim Mekkah’ Jawab Rosululloh sambil berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah.

Selang beberapa lama datang lah suami Atikah , dan meminta istrinya untuk mengambilkan minum karena merasa sangat haus dan lapar. Lalu Atikah menyerahkan bejana yang berisi air susu kambing yang telah di peras oleh tangan lembut Nabi. Suaminya kaget karena yang dia minum bukan air biasa melainkan air susu kambing yang rasanya sangat segar.”Dari mana kau dapat air susu ini hai istriku” Kata Aktsam suami Atikah.”Ini air susu dari kambing kita yang kurus dan sakit sakitan itu dan di peras oleh seseorang yang bernama Muhammad bin Abdulloh dari Bani Hasyim Mekkah. “jawab Atikah. Karena tak percaya suaminya keluar untuk melihat kambingnya yang kurus dan sakit sakitan. Dan betapa kaget Suaminya melihat kambingnya tampak sehat dan segar sedang memakan rumput. “Tadi kau bilang yang memeras kambing ini Muhammad bin Abdulloh dari Bani Hasyim Mekkah, sepertinya aku Pernah mendengar nama itu, Nama itu yang menjadi perbincangan seluruh penduduk Mekkah, Muhammad menentang penyembahan berhala, Muhammad menerima wahyu dari Tuhan yang bernama Alquran , yang isinya mampu membuat seluruh penduduk Mekkah terkagum kagum akan keindahan dari segi bahasa yang mengalahkan para Penyair penyair hebat, Muhammad orang yang jujur hingga Penduduk Mekkah memberi gelar Al amin ( orang dapat di percaya), Muhammad dari keluarga bangsawan bani Hasyim Quraisy. ” Kata Aktsam. “kalau Muhammad dari keluarga bangsawan bani hasyim Qurais mengapa cara berpakaiannnya tidak tampak seperti bangsawan bangsawan yang selama ini aku lihat Congkak dan menyombongkan diri ” Kata Atikah bin Kholid. “itulah Muhammad yang sangat sederhana, kalau benar yang tadi datang ke kemah kita Muhammad bin Abdulloh seperti ciri yang kau ceritakan tadi , itulah adalah benar bahwa dia Muhammad Nabi dan utusan Alloh dan kita besok akan menemui Muhammad dan menyatakan keimanan padanya. “Kata Aktsam yang sangat mengagumi pribadi dan akhlah nabi Muhammad saw.

Su

mber :

KAMBING KURUS YANG DAPAT MENGELUARKAN AIR SUSU DENGAN SENTUHAN TANGAN ROSULULLLOH SAW

SEJARAH HABAIB (‘ALAWIYIN) DI INDONESIA

SEJARAH SINGKAT TENTANG PERANAN ALAWIYIN DI INDONESIA
KEPADAMU KU TITIPKAN AL-QUR’AN DAN KETURUNANKU….
(Al-Hadith Rasullah s.a.w. Dirawikan oleh Imam Ahmad Ibn Hambal)

A. PENDAHULUAN
Pada zaman kekhalifahan Bani Abbas (750-1258 M) berkembanglah ilmu pengetahuan tentang Islam yang bercabang-cabang disamping kenyataan itu penghidupan lapisan atas menyimpang dari ajaran agama Islam. Dibentuknya dynasti Bani Abbas yang turun-temurun mewariskan kekhalifahan. Istilah “muslim bila kaif” telah menjadi lazim. Hidupnya keturunan Sayidatina Fatmah Al-Zahra dicurigai, tiada bebas dan senantiasa terancam, ini oleh karena pengaruhnya anak cucu dari Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. atas rakyat sangat besar dan diseganinya. Keinginan kebanyakan orang Muslim adalah seorang keturunan Nabi yang seharusnya memegang kekhalifahan. Banyak yang dipenjarakan dan dibunuhnya oleh karenanya banyak pula yang pindah dan menjalankan diri dan pusat Bani Abbas di Bahdad,

AHMAD BIN ISA r.a.
Dalam keadaan sebagai diuraikan di atas, yang pasti akan dikutuk Allah s.w.t. dan dengan hendak memelihara keturunannya dari kesesatan, mengulangilah AHMAD BIN ISA BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN JA’FAR BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN AL-HUSEYN r.a. duanya sayidina Ibrahim a.s. yang tersurat dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 37 dan dipilihnya Hadramaut yang bertetanaman, untuk menetap dan berhijrahlah beliau dari Basrah ke Hadramaut, dimana beliau wafat di Hasisah pada tahun 345 H.

ALWI BIN UBAIDILLAH….ALAWIYIN
Keturunan dari AHMAD BIN ISA tadi yang menetap di Hadramaut dinamakan ALAWIYIN ini dari nama cucunya AL-WI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD BIN ISA yang dimakamkan di Sumul.
Keturunan sayidina Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. disebut juga ALAWIYIN dari sayidina Ali bin Abi-Talib k.w, Keluarga Al-Anqawi, Al-Musa-Alkazimi, Al-Qadiri dan Al-Qudsi yang terdapat sedikit di Indonesia adalah Alawiyin, tapi bukan dari Alwi bin Ubaidillah.

MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM
Luput dari serbuan Hulaku, saudara maharaja Cina, yang mentamatkan kekhalifahan Bani Abbas (1257 M), yang memang telah dikhawatirkan oleh AHMAD BIN ISA akan kutukan Allah s.w.t, maka di Hadramaut Alawiyin menghadapi kenyataan berlakunya undang-undang kesukuan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan kenyataan bahwa penduduk Hadramaut adalah Abadhiyun yang sangat membenci sayidina Ali bin Abi-Talib r.a. Ini ternyata pula hingga kini dari istilah-istilah dalam loghat orang Hadramaut. Dalam menjalankan “tugas suci”, ialah pusaka yang diwariskannya, banyak dari pada suku Alawiyin tiada segan mendiami di lembah yang tandus. Tugas suci itu terdiri dari mengadakan tabligh-tabligh, perpustakaan-perpustakaan, pesantren-pesantren (rubat) dan masjid-masjid.

Alawiyin yang semuala bermazhab “Ahli-Bait” mulai memperoleh sukses dalam menghadapi Abadhiyun itu setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam BIN ALI BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN ALWI BIN MUHAMMAD BIN ALWI BIN UBAIDILLAH melaksanakan suatu kompromis dengan memilih mazhab Muhammad bin Idris Al-Syafi-I Al-Quraisyi, ialah yang kemudian disebut mazhab Sayfi-I, Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam ini wafat di Tarim pada tahun 653 H.

TUGAS SUCI (ISLAMISASI)
Alawiyin dalam menyebarkan agama Islam menyeberang ke Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand (Siam), Indonesia Tiongkok (Cina), Filipina, dsb.

b. ALAWIYIN DI INDONESIA SEBELUM DIJAJAH BELANDA
Sebelumnya orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya Kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke VI M. dengan jatuhnya Al-Andalus (1492 M), mengakibatkan pengerjaan bangsa Spanyol terhadap Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis ialah memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak dengan masing-masing Belanda dan Inggris, maka kedua bangsa ini turut juga datang ke Indonesia ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita.

c. ALAWAYIN DI INDONESIA DI MASA JAJAHAN BELANDA
Dengan pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh negara-negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia dan ekonomi Belanda mulai berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin dari pada awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan, oleh karena Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah yang dalam segala lapangan menjadi pelopornya, baik di medan perang maupun dalam bidang pengangkutan barang-barang lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama).

Dilarangnya Alawiyin menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya berkeluarga dengan anggota istana (yang memang keturunan Alawiyin), hingga yang tiada mampu pindah ke perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi laut, atau karena sebab lain, mengambil nama keluarga Jawa agar dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh karenanya pindahanya Alawiyin dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut, maka pula pusat ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, dst. Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman menetap di perkampungan-perkampungan yang disebut “kaum” Suku-suku Alawiyin yang telah anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan mengambil nama ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban, Al-Baabud, Al-Binyahya, Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam keadaan yang demikian itu, Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa Tengah, dimana Islam tiada dapat berkembang oleh karena peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya aneka fitnah yang Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri.

Anak Muslim tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Kristen dapat pendidikan dan pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda anak-anak orang yang berpangkat pada pemerintah jajahan, dan diharuskan mereka tinggal (yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar, dapat lancar berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberi dalam bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu berfikir dan hidup secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka dari bangsawan sendiri, dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat biasa, awam, mengaji, baik pada madrasah-madrasah Alawiyin atau pesantren-pesantren.

Hubungan Alawiyin dengan para kiyahi erat sekali. Untuk melumpuhkan berkembangnya agama islam di antara anak-anak rakyat jelata, Belanda mengadakan sekolah-sekolah Hollands Inlandse School (H.I.S) dengan syarat bahwa murid tiada boleh bersaring dan berkopya-pici, harus mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian mana bukan kebiasaan orang yang mendirikan salat. Jangan sampai kanak-kanak dapat membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang tertulis dengan huruf Arab, Belnda mengajar dengan sungguh menulis dengan huruf lain, dan mengadakan buku-buku yang menarik, dalam huruf ini, untuk maksud mana dibentuknya Balai Perpustakaan. Banyak buku-buku yang dikarang oleh pendeta dan padri indolog dan orientalis, mengandung racun bagi anak murid yang pengetahuannya tentang Islam dan tarikhnya masih sangat Dangkal.

Alawiyin menolak tawaran Belanda untuk membangun Hollands-Arabise School (H.A.S, dan menolak pula subsidi dari pemerintah jajahan bagi madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut dri tipu muslihat dan pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam. Alawiyin tiada dibolehkan menidirkan cabang-cabang mandrasah di kota-kota besar dengan nama yang sama, oleh karena itu nama-nama madrasah yang sama skala pendidikannya, berlainan namanya. Para guru dari negara Islam didatangkan untuk mengajar di madrasah-madrasah, dan kanak-kanak yang berbakat dikirim lanjutkan pelajarannya ke Hadramaut, Hejaz, Istanbul, Kairo dan lain-lain.

Disamping perguruan, Alawiyin aktif juga di lapangan politik hingga beberapa orang ditangkap dan dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh, dan sesudah Aceh ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pemberontakan disana dengan mengibarkan bendera Khalifah Muslimin. Alawiyin hendak menerbitkan pemberontakan di Singapura di kalangan tertentu Muslimin India yang Inggeris hendak berangkatkan untuk berperang di iraq (Perang Dunia I). Perlu juga diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan dengan Muslimin di luar negeri, orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh, teristimewa dengan Padisyah, Khalifatul Muslimin, di Istanbul, yang atas aduan Alawiyin pernah mengirim utusan rahasia untuk menyelidiki keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.

d. ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin, terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkat Jepang, entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah Al-alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu jalan Karet) No. 17 Jakarta Pusat (II/24).

e. ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA
Pemuda Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kiniadalah lebih baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang tersebar sampai di pelosok-pelosok kepualauan Indonesia.

Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya tetap dicinta dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan sebagainya.

Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin yang berpusat di gedung “Darul Aitam”

kutipan :
http://santribuntet.wordpress.com/2007/01/10/sejarah-singkat-habaib-alawiyin-di-indonesia/
http://ahlulbait.blogdrive.com/archive/102.html
http://pondokhabib.wordpress.com/tag/habaib/
http://majelisrasulullah.org
http://rabithahptk.blogspot.com/2009/03/dalil-dalil-yang-mendasari-kafaah_16.html – 101k
http://benmashoor.wordpress.com/2008/12/22/menjaga-hak-keturunan-rasulullah-saw-dalam-perkawinan/ – 22k –

SAMBUT NABI (MAHALLUL QIYAM)

GEMPA : LA ILAHA ILLALLAH

<</p